Cerita Bapak Bapaknya Para Nabi
Bismilllahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum Warohmatullah Wabarokatuh...
Di dalam Al-Qur’an, terdapat begitu banyak kisah menarik yang menggambarkan hubungan antara anak dan orang tua. Meskipun peran seorang ibu sangat besar dalam kehidupan keluarga, Al-Qur’an lebih banyak menyoroti interaksi antara ayah dan anak. Kita bisa melihatnya dalam kisah Nabi Ya’qub dan Yusuf, Nabi Nuh dan putranya, Luqman dan anaknya, serta tentu saja, kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan ayahnya, Azar.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak teman-teman untuk menyelami kisah menyentuh antara Nabi Ibrahim AS—yang kelak dikenal sebagai Bapak Para Nabi—dan ayahnya sendiri, Azar, seorang pembuat patung terkenal di wilayah Babilonia.
Ayah yang Menolak Kebenaran
Azar adalah sosok yang dihormati di kaumnya karena keahliannya membuat patung-patung yang dijadikan sesembahan. Namun tragisnya, ketika putranya sendiri—Nabi Ibrahim—diangkat sebagai seorang nabi dan membawa ajaran tauhid, Azar justru menjadi salah satu penentang paling keras.
Sebagai anak, Nabi Ibrahim tidak serta-merta membantah ayahnya dengan kasar. Justru dengan penuh kesabaran, kelembutan, dan rasa cinta, beliau mengajak ayahnya untuk meninggalkan penyembahan berhala dan kembali kepada Allah yang Maha Esa.
Percakapan yang Abadi dalam Al-Qur’an
Dialog antara Nabi Ibrahim dan Azar diabadikan dalam Surat Maryam ayat 41-50. Perkataan Nabi Ibrahim begitu halus, bijak, dan menyentuh hati:
“Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?”“Wahai ayahku! Telah sampai kepadaku ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”“Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan, sungguh setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.”“Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan.”
Lihatlah betapa lembutnya ajakan Nabi Ibrahim. Dalam keadaannya sebagai anak, beliau tetap menggunakan kata “Wahai ayahku” (يَا أَبَتِ) berkali-kali—menunjukkan penghormatan dan kasih sayang, meskipun yang ia hadapi adalah penolakan terhadap ajaran Allah.
Penolakan yang Menyakitkan
Namun, respons Azar justru sangat menyakitkan. Ia tidak hanya menolak ajakan anaknya, tetapi juga mengancam akan merajamnya dan mengusirnya:
“Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam. Maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama” (QS. Maryam: 46)
Bayangkan betapa pedihnya hati seorang anak ketika ditolak dan diusir oleh orang tuanya sendiri, hanya karena ia membawa kebenaran.
Balasan dengan Kelembutan
Namun, Nabi Ibrahim tetap menjawab dengan kelembutan dan doa:
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.”“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau sembah selain Allah. Aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.” (QS. Maryam: 47-48)
Inilah akhlak seorang nabi. Bersikap hormat, tetap mendoakan, dan tidak membalas keburukan dengan kemarahan. Ia memilih jalan damai, meskipun itu berarti harus meninggalkan orang yang ia cintai.
Allah Tidak Pernah Meninggalkan Hambanya
Meskipun ditolak oleh ayahnya, Allah tidak pernah meninggalkan Ibrahim. Justru dari keturunan Nabi Ibrahim, Allah memunculkan generasi para nabi yang luar biasa: Nabi Ismail, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa, hingga Nabi Muhammad ﷺ.
Itulah sebabnya Nabi Ibrahim dijuluki Abu Al-Anbiya – Bapak Para Nabi.
Pelajaran untuk Kita Semua
Kisah ini memberikan banyak pelajaran berharga, antara lain:
- Berbakti dan bersikap lembut kepada orang tua adalah perintah Allah, bahkan ketika mereka tidak sejalan dengan kita.
- Menegakkan kebenaran tidak selalu mudah—bahkan keluarga terdekat bisa menjadi ujian.
- Allah Maha Melihat dan Maha Adil. Ketika manusia menolak kita, Allah akan memberikan ganti yang lebih mulia.
- Jangan keras kepala seperti Azar, yang menolak kebenaran meski bukti sudah jelas di depan mata. Hati yang tertutup, ibarat berhala—diam, keras, tidak bergerak.
Saatnya Membuka Lapisan yang Menutupi
Seringkali, kita juga seperti Azar—menolak kebenaran bukan karena tidak tahu, tetapi karena ada lapisan kesombongan, hawa nafsu, dan ketidaksadaran yang menutupi hati kita. Padahal kebenaran itu sudah jelas, tinggal kita membuka hati untuk menerimanya.
Semoga kita semua bisa meneladani kesabaran dan kelembutan Nabi Ibrahim, serta mengambil hikmah dari keputusan buruk Azar, agar tidak terjatuh dalam sikap keras kepala yang menutup jalan kebenaran.
Wallahualam Bissawab.
Komentar
Posting Komentar